Welcome to my world. I just want to share something I know. Have fun!

Kamis, 29 November 2012

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :
Bahwa udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya untuk pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan manusia serta perlindungan bagi makhluk hidup lainnya; bahwa agar udara dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi pelestarian fungsi lingkungan hidup, maka udara perlu dipelihara, dijaga dan dijamin mutunya melalui pengendalian pencemaran udara; bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas dan sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Udara;
Mengingat :  
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

MEMUTUSKAN :
Menetapkan :  

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :  Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya;  Pengendalian pencemaran udara adalah upaya pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara serta pemulihan mutu udara;  Sumber pencemar adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya;  Udara ambien adalah udara bebas dipermukaan bumi pada lapisan troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya;  Mutu udara ambien adalah kadar zat, energi, dan/atau komponen lain yang ada di udara bebas;  Status mutu udara ambien adalah keadaan mutu udara di suatu tempat pada saat dilakukan inventarisasi;  Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien;  Perlindungan mutu udara ambien adalah upaya yang dilakukan agar udara ambien dapat memenuhi fungsi sebagaimana mestinya;  Emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar;  Mutu emisi adalah emisi yang boleh dibuang oleh suatu kegiatan ke udara ambien;  Sumber emisi adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dari sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak maupun sumber tidak bergerak spesifik;  Sumber bergerak adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari kendaraan bermotor;  Sumber bergerak spesifik adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari kereta api, pesawat terbang, kapal laut dan kendaraan berat lainnya;  Sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat;  Sumber tidak bergerak spesifik adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat yang berasal dari kebakaran hutan dan pembakaran sampah;  Baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah batas kadar maksimum dan/atau beban emisi maksimum yang diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambien;  Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor adalah batas maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor;  Sumber gangguan adalah sumber pencemar yang menggunakan media udara atau padat untuk penyebarannya, yang berasal dari sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, atau sumber tidak bergerak spesifik;  Baku tingkat gangguan adalah batas kadar maksimum sumber gangguan yang diperbolehkan masuk ke udara dan/atau zat padat;  Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor adalah batas maksimum energi suara yang boleh dikeluarkan langsung dari mesin dan/atau transmisi kendaraaan bermotor;  Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu;  Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang menggunakan mesin dan/atau transmisi tipe baru yang siap diproduksi dan dipasarkan, atau kendaraan yang sudah beroperasi tetapi akan diproduksi ulang dengan perubahan desain mesin dan sistem transmisinya, atau kendaraan bermotor yang diimpor tetapi belum beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia;  Kendaraan bermotor lama adalah kendaraan yang sudah diproduksi, dirakit atau diimpor dan sudah beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia;  Uji tipe emisi adalah pengujian emisi terhadap kendaraan bermotor tipe baru;  Uji tipe kebisingan adalah pengujian tingkat kebisingan terhadap kendaraan bermotor tipe baru;  Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) adalah angka yang tidak mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi mutu udara ambien di lokasi tertentu, yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya;  Inventarisasi adalah kegiatan untuk mendapatkan data dan informasi yang berkaitan dengan mutu udara;  Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan;  Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;  Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
Pasal 2
Pengendalian pencemaran udara meliputi pengendalian dari usaha dan/atau kegiatan sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, dan sumber tidak bergerak spesifik yang dilakukan dengan upaya pengendalian sumber emisi dan/atau sumber gangguan yang bertujuan untuk mencegah turunnya mutu udara ambien.

BAB II

PERLINDUNGAN MUTU UDARA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 3
Perlindungan mutu udara ambien didasarkan pada baku mutu udara ambien, status mutu udara ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan, ambang batas kebisingan dan Indeks Standar Pencemar Udara.

Bagian Kedua
Baku Mutu Udara Ambien

Pasal 4
(1) Baku mutu udara ambien nasional ditetapkan sebagai batas maksimum mutu udara ambien untuk mencegah terjadinya pencemaran udara, sebagaimana terlampir dalam Peraturan Pemerintah ini.
(2) Baku mutu udara ambien nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
Pasal 5
(1) Baku mutu udara ambien daerah ditetapkan berdasarkan pertimbangan status mutu udara ambien di daerah yang bersangkutan.
(2) Gubernur menetapkan baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan baku mutu udara ambien nasional.
(3) Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan sama dengan atau lebih ketat dari baku mutu udara ambien nasional.
(4) Apabila Gubernur belum menetapkan baku mutu udara ambien daerah, maka berlaku baku mutu udara ambien nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
(5) Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
(6) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penetapan baku mutu udara ambien daerah.

Bagian Ketiga
Status Mutu Udara Ambien

Pasal 6
(1) Status mutu udara ambien ditetapkan berdasarkan inventarisasi dan/atau penelitian terhadap mutu udara ambien, potensi sumber pencemar udara, kondisi meteorologis dan geografis, serta tata guna tanah.
(2) Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan daerah melakukan kegiatan inventarisasi dan/atau penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Gubernur menetapkan status mutu udara ambien daerah berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis inventarisasi dan pedoman teknis penetapan status mutu udara ambien.  
Pasal 7
(1) Apabila hasil inventarisasi dan/atau penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) menunjukkan status mutu udara ambien daerah berada di atas baku mutu udara ambien nasional, Gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien daerah yang bersangkutan sebagai udara tercemar.
(2) Dalam hal Gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur wajib melakukan penanggulangan dan pemulihan mutu udara ambien.


Bagian Keempat
Baku Mutu Emisi dan Ambang Batas Emisi Gas Buang

Pasal 8
(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor, tipe baru dan kendaraan bermotor lama.
(2) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan parameter dominan dan kritis, kualitas bahan bakar dan bahan baku, serta teknologi yang ada.
(3) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
Pasal 9
(1) Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengkajian terhadap baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak dan sumber bergerak.

Bagian Kelima
Baku Tingkat Gangguan dan Ambang Batas Kebisingan

Pasal 10
(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor.
(2) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas : baku tingkat kebisingan;  baku tingkat getaran;  baku tingkat kebauan; dan  baku tingkat gangguan lainnya.
(3) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek keselamatan sarana fisik serta kelestarian bangunan.
(4) Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek teknologi.
(5) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
Pasal 11
(1) Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengkajian terhadap baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pengendalian pencemaran udara sumber gangguan dari sumber tidak bergerak dan kebisingan dari sumber bergerak.

Bagian Keenam
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)

Pasal 12
(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan Indeks Standar Pencemar Udara.
(2) Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat mutu udara terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, bangunan, dan nilai estetika.
Pasal 13
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis perhitungan dan pelaporan serta informasi Indeks Standar Pencemar Udara.
Pasal 14
(1) Indeks Standar Pencemar Udara diperoleh dari pengoperasian stasiun pemantau kualitas udara ambien secara otomatis dan berkesinambungan.
(2) Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipergunakan untuk :  bahan informasi kepada masyarakat tentang kualitas udara ambien di lokasi tertentu dan pada waktu tertentu;  bahan pertimbangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam melaksanakan pengendalian pencemaran udara.

Pasal 15
Indeks Standar Pencemar Udara yang diperoleh dari pengoperasian stasiun pemantau kualitas udara ambien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib diumumkan kepada masyarakat.


BAB III

PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

Bagian Kesatu Umum

Pasal 16
Pengendalian pencemaran udara meliputi pencegahan dan penanggulangan pencemaran, serta pemulihan mutu udara dengan melakukan inventarisasi mutu udara ambien, pencegahan sumber pencemar, baik dari sumber bergerak maupun sumber tidak bergerak termasuk sumber gangguan serta penanggulangan keadaan darurat.
Pasal 17
(1) Penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan teknis pengendalian pencemaran udara secara nasional ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
(2) Kebijaksanaan teknis pengendalian pencemaran udara dan pelaksanaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
Pasal 18
(1) Pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di daerah dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.
(2) Pelaksanaan koordinasi operasional pengendalian pencemaran udara di daerah dilakukan oleh Gubernur .
(3) Kebijaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
Pasal 19
(1) Dalam rangka penyusunan dan pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), daerah menyusun dan menetapkan program kerja daerah di bidang pengendalian pencemaran udara.
(2) Ketentuan mengenai pedoman penyusunan dan pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.

Bagian Kedua
Pencegahan Pencemaran Udara dan Persyaratan Penaatan Lingkungan Hidup

Pasal 20
Pencegahan pencemaran udara meliputi upaya-upaya untuk mencegah terjadinya pencemaran udara dengan cara : penetapan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi sumber tidak bergerak, baku tingkat gangguan, ambang batas emisi gas buang dan kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Bab II Peraturan Pemerintah ini; penetapan kebijaksanaan pengendalian pencemaran udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, 18 dan 19.
Pasal 21
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dan/atau baku tingkat gangguan ke udara ambien wajib : menaati baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan baku tingkat gangguan yang ditetapkan untuk usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya;  melakukan pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya;  memberikan informasi yang benar dan akurat kepada masyarakat dalam rangka upaya pengendalian pencemaran udara dalam lingkup usaha dan/atau kegiatannya.
Pasal 22
(1) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan sumber tidak bergerak yang mengeluarkan emisi dan/atau gangguan wajib memenuhi persyaratan mutu emisi dan/atau gangguan yang ditetapkan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
(2) Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 23
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup dilarang membuang mutu emisi melampaui ketentuan yang telah ditetapkan baginya dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 24
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup, maka pejabat yang berwenang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mematuhi ketentuan baku mutu emisi dan/atau baku tingkat gangguan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran udara akibat dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan kewajiban mengenai baku mutu emisi dan/atau baku tingkat gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan sebagai ketentuan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.

Bagian Ketiga
Penanggulangan dan Pemulihan Pencemaran Udara

Pasal 25
(1) Setiap orang atau penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan terjadinya pencemaran udara dan/atau gangguan wajib melakukan upaya penanggulangan dan pemulihannya.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan dan pemulihan pencemaran udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Paragraf 1
Keadaan Darurat

Pasal 26
(1) Apabila hasil pemantauan menunjukan Indeks Standar Pencemar Udara mencapai nilai 300 atau lebih berarti udara dalam kategori berbahaya maka : Menteri menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara secara nasional; Gubernur menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara di daerahnya.
(2) Pengumuman keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara lain melalui media cetak dan/atau media elektronik.
Pasal 27
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara penanggulangan dan pemulihan keadaan darurat pencemaran udara.

Paragraf 2
Sumber Tidak Bergerak

Pasal 28
Penanggulangan pencemaran udara sumber tidak bergerak meliputi pengawasan terhadap penaatan baku mutu emisi yang telah ditetapkan, pemantauan emisi yang keluar dari kegiatan dan mutu udara ambien di sekitar lokasi kegiatan, dan pemeriksaan penaatan terhadap ketentuan persyaratan teknis pengendalian pencemaran udara.
Pasal 29
(1) Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan pencemaran udara dari sumber tidak bergerak.
(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan pencemaran udara sumber tidak bergerak.
Pasal 30
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang mengeluarkan emisi wajib menaati ketentuan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan baku tingkat gangguan.  (2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang mengeluarkan emisi wajib menaati ketentuan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).

Paragraf 3
Sumber Bergerak

Pasal 31
Penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak meliputi pengawasan terhadap penaatan ambang batas emisi gas buang, pemeriksaan emisi gas buang untuk kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama, pemantauan mutu udara ambien di sekitar jalan, pemeriksaan emisi gas buang kendaraan bermotor di jalan dan pengadaan bahan bakar minyak bebas timah hitam serta solar berkadar belerang rendah sesuai standar internasional.
Pasal 32
(1) Instansi yang bertanggungjawab mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak. (2) Kepala instansi yang bertanggungjawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan pencemaran udara dari kegiatan sumber bergerak.
Pasal 33
Kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama yang mengeluarkan emisi gas buang wajib memenuhi ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor.
Pasal 34
(1) Kendaraan bermotor tipe baru wajib menjalani uji tipe emisi.
(2) Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang dinyatakan lulus uji tipe emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi tanda lulus uji tipe emisi.
(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan tata cara dan metode uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru.
(4) Uji tipe emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 35
(1) Hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) wajib disampaikan kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib mengumumkan angka parameter-parameter polutan hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara pelaporan hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 36
(1) Setiap kendaraan bermotor lama wajib menjalani uji emisi berkala sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Gubernur melaporkan hasil evaluasi uji emisi berkala kendaraan bermotor lama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap 1 (satu) tahun sekali kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab.


Paragraf 4
Sumber Gangguan

Pasal 37
Penanggulangan pencemaran udara dari kegiatan sumber gangguan meliputi pengawasan terhadap penaatan baku tingkat gangguan, pemantauan gangguan yang keluar dari kegiatannya dan pemeriksaan penaatan terhadap ketentuan persyaratan teknis pengendalian pencemaran udara.
Pasal 38
(1) Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan pencemaran udara dari sumber gangguan.  (2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan pencemaran udara dari kegiatan sumber gangguan.
Pasal 39
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang mengeluarkan gangguan wajib menaati ketentuan baku tingkat gangguan.
(2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang mengeluarkan gangguan wajib menaati ketentuan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
Pasal 40
Kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama yang mengeluarkan kebisingan wajib memenuhi ambang batas kebisingan.
Pasal 41
(1) Kendaraan bermotor tipe baru wajib menjalani uji tipe kebisingan.
(2) Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang dinyatakan lulus uji tipe kebisingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi tanda lulus uji tipe kebisingan.
(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara dan metode uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru.
(4) Uji tipe kebisingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 42
(1) Hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (4), wajib disampaikan kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib mengumumkan hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara pelaporan hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 43
(1) Setiap kendaraan bermotor lama wajib menjalani uji kebisingan berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Gubernur melaporkan hasil evaluasi uji kebisingan berkala kendaraan bermotor lama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap 1 (satu) tahun sekali kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab.

BAB IV

PENGAWASAN


Pasal 44
(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran udara.
(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
Pasal 45
(1) Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang membuang emisi dan/atau gangguan.
(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
Pasal 46
Hasil pemantauan yang dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) wajib dilaporkan kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun.
Pasal 47
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (2) berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, mengambil contoh mutu udara ambien dan/atau mutu emisi, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan/atau kegiatan.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi permintaan petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut.
Pasal 48
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib : mengizinkan pengawas memasuki lingkungan kerjanya dan membantu terlaksananya tugas pengawasan tersebut;  memberikan keterangan dengan benar baik secara lisan maupun tertulis apabila hal itu diminta pengawas;  memberikan dokumen dan/atau data yang diperlukan oleh pengawas;  mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan contoh udara emisi dan/atau contoh udara ambien dan/atau lainnya yang diperlukan pengawas; dan  mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan gambar dan/atau melakukan pemotretan di lokasi kerjanya.
Pasal 49
Hasil inventarisasi dan pemantauan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, baku tingkat gangguan dan indeks standar pencemar udara yang dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (2) wajib disimpan dan disebarluaskan kepada masyarakat.
Pasal 50
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib menyampaikan laporan hasil pemantauan pengendalian pencemaran udara yang telah dilakukan kepada instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis, dan instansi terkait lainnya.
(2) Pedoman dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 51
(1) Dalam rangka kegiatan pengawasan, masyarakat dapat melakukan pemantauan terhadap mutu udara ambien.
(2) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis, dan instansi terkait lainnya.
(3) Hasil pemantauan yang dilakukan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan oleh instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis, dan instansi terkait lainnya sebagai bahan pertimbangan penetapan pengendalian pencemaran udara.

BAB V
PEMBIAYAAN


Pasal 52
Segala biaya yang timbul sebagai akibat dari upaya pengendalian pencemaran udara dan/atau gangguan dari sumber tidak bergerak yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 53
Segala biaya yang timbul sebagai akibat pengujian tipe emisi dan kebisingan kendaraan bermotor tipe baru dan pelaporannya dalam rangka pengendalian pencemaran udara dan/atau gangguan dibebankan kepada perakit, pembuat , pengimpor kendaran bermotor.


BAB VI

GANTI RUGI


Pasal 54
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan terjadinya pencemaran udara wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran udara serta biaya pemulihannya.
(2) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain, akibat terjadinya pencemaran udara wajib membayar ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan.
Pasal 55
Tata cara perhitungan biaya, penagihan dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.

BAB VII

SANKSI


Pasal 56
(1) Barangsiapa melanggar ketentuan dalam Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 23, Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 30, Pasal 39, Pasal 47 ayat (2), Pasal 48, dan Pasal 50 ayat (1) Peraturan Pemerintah ini yang diduga dapat menimbulkan dan/atau mengakibatkan pencemaran udara dan/atau gangguan diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.  (2) Barangsiapa melanggar ketentuan dalam Pasal 33 yang berkaitan dengan kendaraan bermotor lama, Pasal 36 ayat (1), Pasal 40 yang berkaitan dengan kendaraan bermotor lama, dan Pasal 43 ayat (1) Peraturan Pemerintah ini yang tidak memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang, atau ambang batas kebisingan diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Undang-undang Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.


BAB VIII

KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 57
Selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin, wajib menyesuaikan menurut persyaratan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP


Pasal 58
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan tentang pengendalian pencemaran udara yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 59 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ttd

PROF. DR. H. MULADI, S.H.

Rabu, 23 November 2011

Laporan Faal Pemeriksaan Fungsi Pendengaran


BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
       Pendengaran adalah persepsi terhadap rangsangan bunyi. Organ yang berperan dalam sistem pendengaran adalah telinga. Telinga merupakan organ pendengaran dan juga memainkan peran penting dalam mempertahankan keseimbangan. Peran telinga itu sendiri dalam sistem pendengaran yaitu menerima gelombang suara, membedakan frekuensinya dan akhirnya mengirimkan informasi suara ke dalam sistem saraf pusat.
       Semua bagian-bagian telinga mempunyai peran tersendiri dalam proses mendengar. Telinga dibagi dalam tiga bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar terdiri dari pinna atau aurikula (daun telinga) dan meatus akustikus eksternus (liang telinga).
 Telinga tengah merupakan sebuah rongga, dinding lateralnya adalah membrana timpani dan dinding medialnya adalah permukaan luar telinga dalam. Rongga ini dilalui oleh tiga buah tulang kecil (Osikuli) yaitu malleus, inkus dan stapes, yang membentang dari membrana timpani ke telinga dalam (foramen ovale). Rongga ini berhubungan dengan nasofaring melalui tuba eustachius.
Telinga dalam ( disebut juga labirin ) terdiri atas sebuah sistem saluran yang tak beraturan (labirin membranosa) yang dibatasi oleh tulang (labirin tulang). Labirin tulang dibagi dalam tiga bagian yang secara struktural dan fungsional berbeda, yaitu vestibulum, koklea dan kanalis semisirkularis. Labirin membranosa terdapat di dalam tulang labirin walaupun ukrannya lebih kecil. Membran ini meliputi utrikel, sakul, duktus semikular dan duktus koklea. Adapun saraf – saraf yang berperan dalam sistem ini adalah serabut saraf koklear dari saraf vestibulokoklear  yang bersinapsis dalam medula dan dalam otak tengah untuk berasenden menuju korteks auditori, yang terletak jauh di dalam fisura lateral hemisfer serebral.
Mekanisme pendengaran terjadi dimulai dari gelombang bunyi  yang ditangkap oleh aurikula kemudian menjalar ke meatus akustikus eksternus. Dari meatus akustikus eksternus gelombang bunyi diteruskan dan menghasilkan getaran dalam membrana timpani. Getaran ini kemudian menjalar di sepanjang osikuli menuju fenestra vestibuli, mendorongnya masuk dan membentuk gelombang tekanan pada prelimfe skala vestibuli yang tidak dapat terkompresi. Vibrasi prelimfe menyebabkan vibrasi pada endolimfe, sehingga rambut-rambut getar menonjol ke dalam dan merangsang ujung-ujung saraf pada membran koklea. Saraf membawa rangsang ke dalam pusat pendengaran di lobus temporal otak, tempat rangsang dinilai dan diinterpretasi.
Gangguan dalam sistem pendengaran atau biasa disebut tuli biasanya terjadi karena beberapa hal diantaranya yaitu adanya kerusakan pada bagian-bagian telinga yang biasanya terjadi karena frekuensi bunyi yang didengar terlalu besar sehingga menimbulkan kerusakan bagian telinga. Faktor lainnya yaitu adanya kerusakan pada saraf-saraf yang berperan dalam pendengaran.
I.2 Tujuan Pembelajaran
1. Mengetahui cara-cara pemeriksaan fungsi pendengaran
2. Menentukan macam-macam ketulian


















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Telinga merupakan organ pendengaran dan juga meainkan peran penting dalam mempertahankan keseimbangan. Bagian-bagian yang berperan dalam pendengaran : bagian luar, bagian tengah, dan koklea. Bagian-bagian yang berperan dalam keseimbangan : kanal semisirkular, utrikel, dan sakulus. (Roger watson, 2002 : 102)
Telinga luar terdiri dari atas aurikula (daun telinga) dan liang telinga luar (meatus akustikus eksternus). Meatus akustikus eksternus terdapat di antara daun telinga dan membrana timpani . Seluruhnya dilapisi kulit, denan rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar apokrin yang telah dimodifikasi disebut kelenjar seruminosa. Kelenjar ini mensekresi serumen atau tahi telinga. Normalnya harus basah, sesuai fungsinya untuk menangkap benda asing dan mencegah serangga masuk. Telinga luar dipisahkan dari telinga luar oleh membrana timpani. (dr.Jan Tambayong, Hal.57 : 2001)
Telinga bagian tengah merupakan merupakan ruang kecil dalam tulang temporal, dipisahkan oleh membran timpani dari telinga bagian luar, dinding selanjutnya dibentuk oleh dinding bagian lateral telinga dalam. Rongga tersebut dikelilingi membran mukosa dan berisi udara yang masuk dari faring melalui saluran pendengaran. Hal ini membuat tekanan udara di kedua sisi membran timpani sama. Telinga tengah terdiri dari tiga tulang tipis, yang disebut osikel, yang menghantarkan getaran ke membrana timpani melalui telinga dalam. Membran timpani tipis dan semitransparan dan tempat melekatnya malleus, osikel pertama, melekat dengan kuat ke permukaan dalam. Inkus berartikulasi dengan malleus dan stapes, bagian dasar osikel, yang menempel pada fenestra vestibuli dan mengarah ke bagian dalam telinga. Dinding posterior telinga tengah terbuka tidak beraturan, mengarah ke mastoid antrum dan membelok ke sekolompok sel udara mastoid, seperti sinus nasal yang terinfeksi. (Roger watson, Hal.103 : 2002)
Telinga dalam (disebut juga labirin) terdiri atas sebuah sistem saluran yang tak beraturan (labirin membranosa) yang dibatasi oleh tulang (labirin tulang). Labirin tulang dapat dibagi dalam tiga bagian yang secara struktural dan fungsional berbeda, yaitu vestibulum, koklea dan kanalis semisirkularis. Labirin tulang ini berisikan prelimfe. Labirin membranosa, yang dikelilingi dan berenang dalam prelimfe, berisikan endolimfe. (dr.Jan Tambayong, Hal.58 : 2001)
Di dalam vestibulum terdapat dua kantong labirin bermembran, yaitu sakulus dan utrikulus. Sakulus, yang lebih kecil, berhubungan dengan duktus koklearis melalui saluran kecil, sedangkan utrikulus berhubungan dengan kanalis semisirkularis. Pada sakulus dan utrikulus terdapat reseptor keseimbangan yang disebut makula, untuk memantau perubahan posisi kepala. (dr.Jan tambayong, Hal.58 : 2001)
Terdapat tiga kanalis semisirkularis, yang tersusun dalam tiga bidang berbeda (anterior, posterior dan lateral). Di dalam kanalis semisirkularis tulang terdapat tiga duktus semisirkularis. Masing-masing duktus memiliki satu ujung yang melebar disebut ampula, yang berisikan reseptor keseimbangan disebut krista ampularis. Reseptor ini berespons terhadap gerak anguler (rotasi) dari kepala. (dr.Jan Tambayong, Hal.58 : 2001)
Koklea adalah saluran tulang berpilin konis (rumah siput). Ia meluas dari bagian anteroir vestibulum dan berpilin 2 ½ kali mengelilingi tulang yang disebut modiolus. Di dalamnya terdapat duktus koklearis, yang berakhir buntu di apeks koklea. Di dalam duktus koklearis terdapat organ corti, reseptor pendengaran. Duktus koklearis bersama lamina spiralis membagi rongga koklea menjadi tiga bagian (skala) terpisah, yaitu skala vestibuli (atas), skala media atau duktus koklearis (tengah) dan skala timpani (bawah). (dr.Jan Tambayong, Hal.58 : 2001)

Dua bagian labirin tulang yang terletak di atas dan di bawah skala media adalah skala vestibuli dan skala timpani. Kedua skala tersebut mengandung cairan prelimfe dan terus memanjang melalui lubang pada apeks koklea, yang disebut helikotrema. Membran reissner memisahkan skala media dari skala vestibuli, yang berhubungan dengan fenestra vestibuli. Membran basilar memisahkan skala media dari skala timpani, yang berhubungan dengan fenestra cochleae. (Ethel Sloane, Hal.191 : 2004)
Penghantaran Suara
Duktus koklearis atau skala media, yang merupakan bagian labirin membranosa yang terhubung ke sakulus, adalah saluran tengah yang berisi cairan endolimfe. Skala media berisi organ corti yang terletak pada membran basilar. Organ corti terdiri dari reseptor, disebut sel rambut, dan sel penunjang, yang menutupi ujung bawah sel-sel rambut dan berada pada membran basilar. Membran tektorial adalah struktur gelatin seperti pita yang merentang di atas sel-sel rambut. Ujung basal sel rambut bersentuhan dengan cabang bagian koklear saraf vestibulokoklear. Sel rambut tidak memiliki akson dan langsung bersinapsis dengan ujung saraf koklear. (Ethel Sloane, Hal.191 : 2004)
  Telinga mengubah gelombang suara dari dunia luar menjadi potensial aksi dalam nervus koklearis. Gelombang diubah oleh gendang telinga dan tulang-tulang pendengar menjadi gerakan papan kaki stapes. Gerakan ini menimbulkan gelombang pada cairan telinga dalam gelombang pada organ korti sehingga menimbulkan potensial aksi pada serabut-serabut saraf. (Syaifuddin, Hal.235 : 2009)
Sebagai respons yang ditimbulkan, gelombang suara pada membran timpani bergerak ke dalam suatu resonator yang menghasilkan getaran dari sumber suara. Gerakan diteruskan pada manubrium maleus, berayun pada poros melalui batas antara saluran panjang dan pendek, lalu meneruskan getaran dari manubrium ke inkus lalu dihantarkan ke stapes. (Syaifuddin, Hal.235 : 2009)
Penghantaran suara mengubah resonansi (intensifikasi suara) yang menghasilkan getaran dari membran timpani menjadi gerakan stapes untuk mengarahkan skala vestibuli koklea yang terisi dengan prelimfe. Sistem ini dinamakan tekanan suara yang sampai pada jendela lonjong. Hasil kerja dari maleus dan inkus memperbesar gaya 1,3 kali dari luas membran timpani, jauh lebih besar dari luas papan kaki stapes, pemborosan energi suara karena resistensi 60 % dari enerfi suara yang telah sampai pada membran timpani berhasil dihantarkan ke cairan dalam koklea. (Syaifuddin, Hal.235 : 2009)
1.      Refleksi gendang : apabila otot telinga tengah (M.Tensor timpani dan M.Stapedius) berkontraksi menarik manubrium maleolus ke dalam dan papan kaki stapes keluar. Suara yang keras menimbulkan refleks kontraksi otot yang dinamakan refleks gendang. Refleks gendang ini berfungsi untuk melindungi dan mencegah gelombang suara keras yang dapat menyebabkan perangsangan yang berlebihan pada reseptor pendengar. Akan tetapi, waktu reaksi untuk refleks adalah 40-160 ms sehingga refleks tidak melindungi dari rangsangan yang sangat singkat seperti suara tembakan.
2.      Penghantaran tulang dan udara
a.       Penghantaran gelombang suara ke cairan telinga dalam melalui membran timpani dan tulang-tulang pendengar yang dinamakan penghantaran tulang telinga tengah.
b.      Gelombang suara menimbulkan getaran pada membran timpani sekunder yang menutup jendela bundar (penghantaran udara)
c.       Penghantaran tulang transmisi, getaran dari tulang-tulang tengkorak ke cairan telinga dalam. Banyak terjadi konduksi tulang bila garpu penala diletakkan langsung pada tengkorak. Jalan ini memegang peranan penting dalam penghantaran yang sangat keras.
3.      Gelombang jalan papan kaki stapes menimbulkan serangkaian gelombang berjalan pada prelimfe dalam skala vestibuli. Apabila gelombang bergerak ke arah koklea, tinggi gelombang meningkat sampai maksimum dan kemudian menurun dengan cepat. Jarak dari sapes sampai ketinggian maksimum berubah-ubah tergantung pada frekuensi getaran. Gelombang suara dengan nada tinggi akan menimbulkan gelombang yang mencapai tinggi maksimum dekat pada basis koklea, sedangkan suara nada rendah menimbulkan gelombang yang memuncak dekat dengan apeks dinding. Tulang dari skala vestibuli menjadi kaku, tetapi membran ini fleksibel. Membran basilaris tidak dalam keadaan tegang dan dapat dilakukan ke dalam skala timpani oleh puncak gelombang dalam skala vestibuli. (Syaifuddin, Hal.235-236 : 2009)
Pendesakan cairan dalam skala timpani dilepaskan ke dalam udara pada foramen rotundum. Suara akan menimbulkan distorsi (pilihan) pada membran basilaris, tempat dimana distorsi ini maksimum yang ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Ujung-ujung sel rambut pada organ korti dipertahankan tetap kaku oleh lamina retikularis dan rambut-rambutnya terbenama dalam membran tektorial. (Syaifuddin, Hal.236 : 2009)
Apabila membran basilaris ditekan, gerakan relatif dari membran tektorial lamina retikularis akan membengkokkan rambut-rambut. Pembengkokan ini menimbulkan potensial aksi pada saraf pendengar. (Syaifuddin, Hal.236 : 2009)
Ketulian adalah gangguan hantaran bunyi di dalam telinga luar atau telinga tengah (tuli hantar) atau kerusakan sel rambut jaras saraf (tuli saraf) atau kerusakan pada kedua bagian itu (tuli campuran). Penyebab tuli hantar atau biasa juga disebut tuli konduksi adalah sumbatan meatus akustikus eksternus oleh serumen atau benda asing, perusakan ossikula auditus, penebalan membran timpani setelah infeksi telinga tengah berulang, dan kekuatan abnormal perlengketan stapes ke foramen ovale. Tuli saraf disebabkan oleh degenerasi toksin sel rambut, dan kerusakan pada saraf-saraf yang terlibat dalam sistem pendengaran. Tuli campuran adalah tuli yang terjadi karena adanya kerusakan pada bagian-bagian telinga dan kerusakan pada syaraf-syaraf pendengaran. (Syaifuddin, Hal.239 : 2009)





























BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan
1.      Garpu tala (288 atau 512 Hz)
2.      Arloji
III.2 Cara Kerja
A.     Pemeriksaan fungsi pendengaran
1.      Tes Bisik
Tes ini merupakan tes yang sederhana dan walaupun kurang akurat tetapi cukup inovatif bagi pemeriksaan rutin. Untuk ini memerlukan ruangan sepanjang 6 meter (minimal) dan bersifa kedap suara sehingga bising tidak mempengaruhi jalannya pemeriksaan. Orang coba duduk menyamping sehingga telinga yang akan diperiksa menghadap ke mulut pemeriksa. Menutup telinga yang tidak diperiksa dan kalau perlu menutup mata juga agar orang coba tidak dapat melihat gerakan bibir pemeriksa. Pemeriksa mengucapkan kata-kata secara berbisik (intensitas suara halus sekeras bisikan sejauh 30 cm dari telinga), dan orang coba harus dapat mengulanginya dengna benar. Bila dapat didengar dari jarak :
·         6 meter berarti normal
·         5 meter berarti masih dalam batas normal
·         4 meter berarti tuli ringan
·         2-3 meter berarti tuli sedang
·         1 meter atau kurang berarti tuli berat
Dapat pula diketahui bila orang coba menderita gangguan pendengaran dengan frekuensi rendah atau tinggi. Untuk ini pemeriksa membisikkan kata-kata yang frekuensinya tinggi misalnya karcis, kikis, tangis dan sebagainya. Sedang kata-kata denga frekuensi rendah misalnya letup, rendum, beban dan sebagainya.
2.      Tes Arloji
Harus menggunakan arloji yang berdetik misalnya arloji saku. Arloji “quarts” tak dapat digunakan. Pemeriksaan ini kurang cukup untuk menentukan jenis ketulian. Orang coba diminta mendengarkan detik arloji mula-mula telinga kiri kemudian telinga kanan.
3.      Tes dengan garpu tala
a.       Tes rinne
Menggetarkan garpu tala kemudian menempelkan pangkalnya pada tulang mastoid orang coba. Meminta orang coba untuk memberitahukan jika bunyi garpu tala tidak terdengar lagi. Memindahkan garpu tala sehingga ujungnya yang bergetar berada pada kira-kira 3 cm di depan liang telinga. Bila suara masih terdengar maka rinne positif, sedang bila tidak dapat terdengar lagi disebut rinne negatif
Rinne negatif  : normal atau tuli sensorineural
Rinne positif   : tuli konduktif
b.      Tes weber
Menggetarkan garpu tala dan menempatkannya di vertex orang coba. Bila suara terdengar lebih keras pada salah satu telinga misalnya yang kanan maka ini dusebut lateralisasi kanan,
Ini dapatt disebabkan beberapa kemungkinan :
·         Telinga kana tuli konduktif, kiri normal atau tuli sensorineural (perseptif)
·         Telinga kanan normal, kiri tuli perseptif
·         Keduanya tuli konduktif, kanan lebih berat dari kiri
·         Keduanya tuli perseptif, kiri lebih berat dari pada kanan.
c.       Tes schwabach
Menggetarkan garpu tala dan ditempatkan pada tulang mastoid orang coba. Meminta orang coba memberitahukan bila tidak dipindahkan ke tulang mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa juga tidak mendengar suara maka prosedur pemeriksaan dibalik. Mula-mula meletakkan garpu tala pada tulang mastoid pemeriksa dan setelah tak terdengar memindahkannya ke orang coba. Bila orang coba tidak mendengar lagi berarti telinga orang coba normal.
Schwabach memendek : jika setelah garpu tala dipindahkan pada pemeriksa, masih dapat didengar getaran. Berarti orang coba tuli perseptif.
Schwabach memanjang  : setelah memindahkan pada pemeriksa tidak lagi terdengar getaran, tetapi bila prosedur dibalik maka setelah pemeriksa tidak lagi mendengar bunyi. Berarti orang coba tuli konduktif.